Ngaji Zakat Part 24 - Zakat Kontemporer (Zakat Perusahaan - Legitimasi Syariat Zakat Perusahaan)
Legitimasi Syariat Zakat Perusahaan
a. Pendahuluan
Islam memberi perhatian pada muamalah keuangan dan ekonomi dengan
sistem perserikatan, karena di dalamnya terdapat kebaikan, pertumbuhan dan
keberkahan. Di dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Allah disebutkan:
Artinya: “Aku adalah yang ketiga diantara dua orang yang
berserikat selama salah satu dari mereka tidak mengkhianati yang lain. Jika
salah seorang dari mereka mengkhianati temannya, aku keluar dari (perserikatan)
mereka.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Islam mengandung hukum-hukum fikih yang mengatur akad dan muamalah
dalam sebuah perusahaan termasuk terkait perhitungan zakat bagi perusahaan yang
wajib mereka keluarkan.
b. Perusahaan dalam Khazanah
Fikih
Perusahaan atau yang biasa disebut sebagai perseroan adalah sebuah
bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha bisnis dengan
tujuan mencari profit (keuntungan). Sebagaimana dipahami, mencari keuntungan
adalah suatu keniscayaan bagi manusia didalam kehidupan ini, untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Definisi syirkah/perusahaan dalam fikih Islam adalah penyertaan
modal, bekerja sama dan berbagi untung rugi sesuai dengan kesepakatan bersama.
Keberadaan syirkah dalam khazanah fikih telah disyariatkan baik
dari dalil Alquran, sunnah maupun ijma’. Firman Allah:
Artinya: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat
sedikitlah mereka ini.” (QS. Shad/38: 24)
Demikian para ulama juga telah bersepakat tentang disyariatkannya
syirkah secara umum dengan berbagai ragam dan model.
c. Jenis Perusahaan dalam
Khazanah Fikih
Berbagai kitab fikih klasik menyebut ada beberapa jenis dan model
syirkah, diantaranya:
1. Syirkah ‘Inan yaitu kesepakatan antara dua orang atau lebih,
dimana masing-masing akan menyertakan sejumlah uang dan ikut andil dalam
melakukan pekerjaan, dimana mereka akan membagi keuntungan dan kerugian sesuai
dengan apa yang mereka sepakati. Dalam jenis ini tidak disyaratkan kesamaan
modal, pekerjaan, laba, ataupun kerugian.
2. Syirkah mufawadhah yaitu sebuah akad kesepakatan diantara dua
orang atau lebih, dimana masing-masing akan menyertakan sejumlah uang dan ikut
andil dalam melakukan pekerjaan, dimana mereka akan membagi keuntungan dan
kerugian sama besar. Dalam hal ini disyaratkan adanya kesamaan dalam modal,
pekerjaan, laba dan kerugian.
3. Syirkah Wujuh yaitu kesepakatan antara dua orang atau lebih,
dari para pelaku bisnis yang memiliki reputasi yang baik, kedudukan yang
terhormat dan kemampuan untuk mengelola barang-barang dengan baik. Mereka
sepakat untuk membeli barang-barang secara kredit dari beberapa firma atau
perusahaan dengan modal reputasi dan pengalaman mereka, lalu menjualnya secara
tunai. Pemilik barang akan memperoleh harga barangnya secara penuh tanpa
ditambah atau dikurangi dan juga tanpa melihat keuntungan ataupun kerugian dari
hasil penjualannya. Lalu mereka membagikan keuntungan atau kerugian diantara
mereka sesuai dengan kesepakatan. Dengan demikian, jenis syirkah ini tidak
membutuhkan modal, karena ia berdasarkan pada kepercayaan.
4. Syirkah A’mal yaitu kesepakatan antara dua orang untuk menerima
suatu pekerjaan, dan upah dari pekerjaan itu dibagi diantara mereka sesuai
dengan kesepakatan.6 Maka bisa saja dua orang sepakat melakukan satu pekerjaan
yang sama ataupun berbeda, dimana mereka bersama-sama melakukan suatu pekerjaan
yang tidak membutuhkan modal besar, lalu mereka membagi pemasukan yang mereka
peroleh dari pekerjaan-pekerjaan tersebut sesuai dengan kesepakatan yang mereka
buat. Jenis syirkah ini terkadang juga disebut syirkah abdan, atau syirkah
shana’i’.
5. Syirkah Mudharabah. Para fuqaha berbeda pendapat dalam
menentukan hukum fikih untuk syirkah mudharabah. Ada yang berpendapat bahwa ia
termasuk syirkah seperti Hanabilah.7 Ada pula yang tidak menggolongkannya
sebagai syirkah, namun termasuk ijarah. Syirkah Mudharabah adalah akad
kesepakatan antara dua orang, dimana orang pertama memberikan uang kepada orang
kedua untuk digunakan berdagang, dan mendapatkan bagian yang besar dari
keuntungannya. Orang kedua disebut mudharib atau orang yang melakukan
pekerjaan. Orang kedua menggunakan dan mengelola uang itu sebagai seorang
wakil. Mereka berdua membagi keuntungan yang dianugerahkan Allah kepada mereka
sesuai dengan kesepakatan. Adapun kerugiannya ditanggung oleh pemilik modal,
sementara orang kedua merugi dari sisi tenaganya.
Bisa dikatakan bahwa mudharabah adalah syirkah dalam bentuk
khusus, karena ia juga memenuhi rukun-rukun akad syirkah.
Berdasarkan telaah fikih, tidak terdapat larangan dalam
mengembangkan model dan ragam syirkah seperti di atas. Hal ini memberi ruang
munculnya model syirkah atau perusahaan baru yang berbeda dengan jenis-jenis
syirkah yang telah disebutkan di atas, selama itu tidak bertentangan dengan
hukum dan prinsip-prinsip syariat islam, dan akadnya memenuhi semua rukun dan
syarat yang dibuat oleh para fuqaha. Artinya, syariat islam membolehkan
perusaahaan saham (syirkah musahimah/ joint stock company), perusahaan induk
(syirkah qabidhah/ holding company) dan perusahaan konsorsium (syirkah tabi’ah)
dan perusahaan dengan multi nationality dan lintas benua. Begitu juga dengan
perusahaan rekanan (syirkah asykhash/ partnership company) dan perusahaan
kemitraan (syirkah muhashah/ particular partnership company) selama usahanya
dilakukan dalam bidang yang halal dan baik, dan konsisten dengan hukum dan
prinsip-prinsip syariat Islam di dalam semua muamalahnya.
d. Karakteristik Perusahaan
dalam Fikih Islam
Di dalam konsep dan sistem Islam, Shahatah menyatakan sebuah
perusahaan dikatakan sesuai syariat apabila memenuhi unsur-unsur dibawah ini:
1. Tujuan utama dari pendirian perusahaan adalah untuk memperoleh
keuntungan yang halal dan baik. Selain mewujudkan pertumbuhan dan pertambahan
pada modal, perusahaan juga mempunyai tujuan bagi kemaslahatan kehidupan bumi,
dapat membiayai kebutuhan pokok, dan membantu dalam beribadah kepada Allah. Ia
juga bertujuan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan sosial bagi umat
islam.
2. Terikat dengan nilai-nilai akhlak yang baik dan perilaku yang
lurus dalam semua muamalah dan sikap. Karena di dalam itu terdapat bentuk
ketaatan dan ibadah kepada Allah, juga salah satu sarana untuk memperoleh
keuntungan, pertumbuhan dan pertambahan modal.
3. Aktivitas perusahaan hendaknya dilakukan dalam bidang yang
halal dan baik, yang dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi para pemegang
saham, mitra, pekerja, dan masyarakat. Karena sesungguhnya yang buruk itu tidak
pernah sama dengan yang baik, meskipun yang buruk itu banyak.
4. Pemilihan mitra, pemegang saham, investor, dan pekerja
berdasarkan profesionalitas, akhlak, pengalaman, dan kepandaian. Juga tidak
mengabaikan faktor keimanan dan spiritualias karena hal ini dapat memberi
keberkahan tersendiri bagi sebuah perusahaan.
5. Memberikan hak Allah di dalam harta, diantaranya: zakat,
sedekah, dan hal-hal lain yang diwajibkan oleh syariat, demi terwujudnya
pertumbuhan, keberkahan, dan kebersihan di dalam harta.
6. Memberikan hak masyarakat di dalam keuntungan, seperti pajak,
dan Corporate Social Responsibility (CSR). Selain itu tidak boleh memakan harta
orang lain dengan batil, atau dengan merampas hak-hak masyarakat.
7. Menulis dan mencatat semua akad, perjanjian, kesepakatan dan
transaksi, demi menghindari adanya keraguan dan pertikaian.
e. Dalil Kewajiban Zakat
Perusahan
Harta yang diinvestasikan di dalam syirkah dengan mengandalkan
usaha manusia (pekerjaan) yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan
pertumbuhan merupakan salah satu harta wajib zakat. Kewajiban tersebut
berdasarkan pada penjelasan dalil-dalil di bawah ini:
1. Secara umum, harta yang berkembang dan harta yang bisa
berkembang harus tunduk kepada zakat. Sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Taubah/9: 103)
Begitu pula sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada
Muadz bin Jabal saat beliau mengutusnya sebagai wali ke Yaman:
Artinya: “Sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas
mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada
orang-orang fakir diantara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, harta yang dikelola di perusahaan yang memilik
objek berkembang, baik secara riil maupun estimasi tunduk kepada harta wajib zakat.
2. Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk mengeluarkan
zakat dari apa yang mereka persiapkan untuk jual beli(Urudh al-Tijarah). Sabda
beliau:
Artinya: “Pada unta ada zakatnya, pada kambing ada zakatnya, dan
pada al-Bazzu ada zakatnya.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Al-Hakim).
Perkataan al-Bazzu di sini mempunyai makna apa saja yang disiapkan
untuk jual beli, seperti kain, barang-barang, dan yang lainnya. Abu Dawud
meriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam:
Artinya: “Memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari apa-apa
yang kami siapkan untuk dijual.” (HR. Abu Dawud).
3. Para fuqaha baik salaf maupun khalaf telah sepakat tentang
wajibnya zakat pada harta yang diinvestasikan pada perdagangan atau yang
semisalnya. Dari kalangan salaf misalnya Abu Ubaid berkata:
Artinya: “Apabila tiba waktumu untuk mengeluarkan zakat, maka
hitunglah uang atau barang-barang yang diperdagangkan dan hitung sesuai dengan
nilai uangnya. Hitung pula piutangmu yang ada pada orang lain. Kemudian kurangi
dengan hutangmu kepada orang lain, lalu keluarkan zakat dari hartamu yang
tersisa.”
Al-Zaila’i berkata: “Dan barang-barang dagangan yang telah
mencapai nishab uang atau emas, zakatnya 2,5%.” Ibnu Qudamah juga berkata:
Artinya:“Barang siapa yang memiliki barang untuk diperdagangkan,
lalu tiba haulnya saat ia telah mencapai nishab, maka hitunglah di akhir haul,
jika mencapai nishab keluarkan zakatnya, yaitu 2,5%. Dan kami mengetahui bahwa
tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu tentang diperhitungkannya
haul.”
Pernyataan fuqaha salaf di atas menunjukan harta komoditas
perdagangan wajib untuk dizakati. Sedangkan untuk aset tetap yang tidak
dipersiapkan untuk jual beli, dan hanya untuk pemakaian pribadi, maka tidak ada
kewajiban zakat di dalamnya. Adapun aset tetap yang disewakan kepada orang
lain, maka penyewaan itu tunduk kepada zakat.
Begitu pula fuqaha dari kalangan khalaf bersepakat tentang
wajibnya zakat pada harta-harta yang diinvestasikan, baik pada sektor
perdagangan maupun pada sektor industri. Yusuf Al-Qaradhawi (1973) dalam
bukunya Fiqh al-Zakah menyatakan zakat wajib bagi para pedagang, baik secara
personal maupun yang berserikat. Dalam hal ini, diriwayatkan dari Abu Dawud
dengan sanadnya Qais bin Abi Gharazah:
Artinya: “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berjalan
melewati kami, dan beliau bersabda, “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual
beli itu diwarnai dengan perilaku sia-sia dan sumpah, maka bersihkan ia dengan
zakat.” (HR. Abu Dawud).
Hadits ini menegaskan tentang kebutuhan pedagang kepada proses
pembersihan yang berkelanjutan dari noda-noda perniagaan. Maka jika pedagang
telah mengeluarkan zakatnya, itu merupakan kafarat dari noda-noda yang
mengotori perniagaannya.
Dalam konteks ini, para fuqaha telah bersepakat tentang wajibnya
zakat pada barang-barang dagangan (urudh tijarah).
Barang-barang perdagangan yang ditujukan untuk dikembangkan dan
mendapatkan keuntungan dikiaskan dengan hewan ternak yang dikembangbiakkan
sehingga wajib zakat atasnya. Hanya saja masing-masing dizakati sesuai dengan
jenisnya. Zakat perdagangan berdasarkan nilainya, sedangkan zakat hewan ternak
berdasarkan jumlahnya. Keduanya memiliki kesamaan dalam pokok dasar kewajiban
zakat.
f. Ketentuan Hukum Zakat
Perusahaan
Para fuqaha berpendapat bahwa padanya (zakat perusahaan) berlaku
pula hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang sama dengan kewajiban zakat pada
perseorangan. Hal tersebut berdasarkan argumentasi berikut:
Pertama: Zakat Merupakan Kewajiban Prinsip
Firman Allah:
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Al-Taubah/9: 60)
Sabda Rasulullah kepada Muadz bin Jabal saat beliau mengutusnya ke
Yaman:
Artinya: “Sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas
mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada
orang-orang fakir diantara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Firman Allah:
Artinya: “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan
zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan
ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui..” (QS. Al-Taubah/9: 11)
Sabda Rasulullah:
Artinya: “Islam dibangun di atas lima perkara; kesaksian bahwa
tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah
utusan Allah, menunaikan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan
menunaikan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah pernah membai’at orang yang masuk Islam untuk
menunaikan kewajiban zakatnya. Beliau bersabda:
Artinya:“Sesungguhnya kesempurnaan islam kalian adlah dengan
mengeluarkan zakat harta kalian.” (HR. Al-Bazzar).
Dengan statusnya sebagai prinsip beragama, maka siapa saja yang
mengingkarinya berarti ia telah mengingkari kewajiban syariat dan dapat masuk
pada kategori kafir. Adapun orang yang mengakuinya namun tidak menunaikannya,
maka ia adalah seorang muslim yang bermaksiat.
Kedua: Zakat Merupakan Ibadah Harta
Zakat merupakan ibadah mahdhah yang memiliki dimensi dunia, yakni
mensucikan harta; sebagaimana firman Allah:
Artinya:“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (jiwa dan hartanya) dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka.” (QS. Al-Taubah/90: 103)
Zakat menandakan ketaatan seorang mukmin, sebagaimana firman Allah
dan Sabda Rasul:
Artinya:“Dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (QS.
Al-Mu’minun/23: 4)
Artinya: “Dan sedekah adalah bukti.” (HR. Muslim)
Maka, kejujuran iman, pengakuan atas rasa syukur kepada Allah
ditandai dengan taatnya seorang hamba terhadap ibadah zakat. Bahkan bukan saja
bagi yang sudah mukallaf, zakat diwajibkan juga kepada yang belum mukallaf
sebagaimana sabda Rasulullah:
Artinya: “Ketahuilah, barang siapa yang menjadi wali bagi anak
yatim yang memiliki harta, hendaklah ia menggunakannya untuk berdagang atas
nama anak itu, dan jangan ia membiarkannya sehingga harta itu dimakan oleh
zakat.” (HR. Al-Tirmidzi).
Ketiga: Zakat Sejatinya Mengembangkan Harta
Allah berfirman:
Artinya:“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).” (QS. Ar-Rum/30: 39)
Rasulullah bersabda:
Artinya: “Tidaklah harta akan berkurang karena sedekah.” (HR.
Ahmad)
Hal ini menegaskan bahwa jalan yang diberkahi untuk mengembangkan
harta adalah dengan menunaikan zakat.
Keempat: Zakat Merupakan Hak Para Mustahik
Zakat bukanlah bersifat charity atau sukarela, dari orang kaya
kepada orang miskin, namun zakat merupakan keharusan, haknya para mustahik.
Allah berfirman:
Artinya: “dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian
tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai
apa-apa (yang tidak mau meminta),” (QS. Al-Ma’arij/70: 24-25)
Begitu juga pesan Rasulullah kepada Muadz bin Jabal:
Artinya: “Sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas
mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada
orang-orang fakir diantara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kelima: Zakat Merupakan Tanggung Jawab Ulil amri (Penguasa)
Diantara tugas penguasa/ pemerintah ditengah-tengah komunitas
muslim adalah memberi fasilitas terbaik demi terkumpulnya dana zakat yang
maksimal dan dapat meningkatkan kesejahteraan para mustahik. Baik dalam bentuk
dukungan regulasi maupun dukungan iklim bagi terwujudnya pengolaan zakat yang
terbaik. Sebagaimana firman Allah:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan
mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj/22: 41)
Khalifah Abu Bakar Shiddiq dalam kisahnya, pada saat beliau
berkuasa, beliau sangat konsen dan tegas memberantas orang-orang yang enggan
membayar zakat, dan ia berkata:
Artinya: “Demi Allah, andai mereka enggan menunaikan seekor anak
kambing yang dulu mereka tunaikan kepada Rasulullah, sungguh aku akan memerangi
mereka karenanya.” (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah).
Dengan demikian, antara tugas pemerintah dalam memfasilitasi pengelolaan
zakat orang-orang kaya adalah dengan mengeluarkan regulasi khusus untuk
perusahaan yang hendak menunaikan zakatnya secara benar, bahkan jika
memungkinkan bersifat wajib.
g. Ketentuan Hitungan Zakat
Perusahaan
Dewasa ini perputaran uang didominasi oleh para pelaku bisnis dan
perdagangan melalui jenis dan model usaha yang beragam. Sebagai bagian dari
sistem ekonomi Islam, jelas zakat memiliki kontrbusi yang sangat besar dalam
mendekatkan jurang ekonomi. Hal ini lantaran zakat diwajibkan kepada pemilik harta
dan didistribusikan kepada pihak yang kesusahan dan kekurangan. Atas prinsip
inilah, sebagaimana zakat diwajibkan ke atas individu yang memiliki harta, maka
zakat juga diwajibkan kepada perusahaan sebagai pusat berputarnya harta
khususnya pada zaman modern saat ini.
Beberapa perlakuan fikih yang perlu diperhatikan pada saat proses
menghitung zakat perusahaan, diantaranya adalah:
Pertama: Harta Shareholder
Sebagaimana lazimnya bahwa harta perusahaan merupakan harta milik
dua orang mitra atau lebih yang dikelola oleh satu manajemen. Kondisi demikian
dinisbahkan bagai satu harta, karena adanya kesamaan dalam sifat dan kondisi,
yakni kesamaan tujuan.
Pada prakteknya harta masing-masing mitra (shareholder) harus
dilihat secara detail, kapan dan berapa dari segi haulnya, takaran zakatnya,
nishabnya, presentasenya, dan jumlahnya.
Tatkala sudah diketahui berapa jumlah yang wajib dikeluarkan oleh
masing-masing mitra mitra sesuai kepemilikan sahamnya (modal perusahaan).
Setelahnya, manajemen perusahaanlah sebagai wali mempunyai kewajiban untuk
mengurusnya.
Kedua: Perusahaan Adalah Syakhsiyah I’tibariyah
Dalam pandangan fikih, sebuah korporasi yang diibaratkan sebagai
pribadi (Syakhsiyah I’tibariyah) atau satu orang. Maka zakat perusahaan
layaknya dihitung sebagai satu kesatuan harta. Setelah itu dibagikan kepada
semua mitra sesuai dengan saham mereka masing-masing pada modal perusahaan.
Ketiga: Kewajiban Zakat Pada Mitra
Kewajiban zakat hanya kepada para pemegang saham yang beragama
Islam berdasarkan apa yang ia miliki di perusahaan adapun mitra atau pemegang
saham non muslim, mereka tidak wajib zakat. Namun mereka bisa saja dibebankan
bayaran lain sesuai dengan regulasi perusahaan yang berlaku.
Komentar
Posting Komentar